Komunikonten.com

Apa Itu Empati Digital?

06Jun, 2018

Oleh: Hariqo Wibawa Satria

“Teman kita dirampok, lu malah nanyain kapan buka bersama”, kata Didik kepada saya di grup WhatsApp (WA) kami. Penasaran saya gulir ke atas melacak unggahan dari anggota WA. Ternyata ada kabar seorang anggota WA ditodong pistol dan dirampok dompetnya. Kealpaan saya adalah tidak mengecek obrolan di WA itu sebelum menulis “kapan kita bukber neh?”. Saya kemudian cepat-cepat minta maaf.

Di era digital ini, kita bisa divonis kurang berempati jika kurang waspada. Misalnya, ketika ada kabar duka. Jangan sampai saat hampir semua anggota WA menulis *”innalillahi wainna ilaihi rajiun”,* lalu kita yang mengirim video tentang azab kubur. Ini kategorinya tidak sengaja, namun di Indonesia pernah seorang remaja putri sengaja membuat *video tik tok* di depan jasad kakeknya yang baru meninggal dunia. Video ini menuai kecaman ribuan warganet.

Mengirim tulisan yang panjang meskipun bermanfaat juga sering membuat kesal. Bayangkan saat kita sedang “rapat online” memutuskan kapan waktu membesuk teman kita yang sakit parah, tiba-tiba ada yang mengirim transkrip pidato Mohammad Yamin di sidang BPUPKI yang panjangnya minta ampun. Isi postingannya bernas, namun waktunya tidak pas.

Di media sosial juga demikian, seorang tokoh bisa saja dianggap pro penjajahan jika ia lupa mengucapkan selamat hari proklamasi kemerdekaan lewat medsos pada 17 Agustus. Meskipun tokoh tersebut di lapangan berkali-kali teriak “merdeka, merdeka” bahkan atap rumahnya di cat merah putih.

Jadi apa digital empati itu?. Dalam artikel berjudul “Empowering Children to use technology positively’, digital empathy adalah: the ability to show empathy towards one’s own and others’ needs and feelings online (kidsmatter.edu.au). Jika belum punya kemampuan itu, kita bisa dianggap belum punya empati digital?, meskipun praktek empati di internet itu beragam. Ada orang yang berempati namun selektif, dia hanya berduka ketika musibah menimpa golongannya saja. Itulah mengapa empati digital sebaiknya diajarkan sejak dini kepada anak-anak.

Digital empati juga tidak hanya terkait musibah. Umpamanya, ada kawan yang mengunggah undangan pernikahannya di facebook, kemudian kita komentari dengan “wah perbaikan keturunan ini”. Jika itu terbaca oleh orangtua atau keluarga kedua mempelai tentu melahirkan tafsir beragam, selain kalimat buruk itu tidak pantas diucapkan sampai kapanpun karena bertendensi menghina fisik.

Contoh lainnya, sudah tahu terjadi gempa bumi dan ada korbannya, eh dia malah mengunggah meme lucu-lucuan di medsos. Ini jelas tak punya empati digital. Sengaja saya garisbawahi/tebalkan kata sudah tahu diatas, karena jika memang belum tahu, tentu dia tidak salah sepenuhnya. Di era digital ini kita memang perlu berlatih menunda kesimpulan

Yang paling disorot adalah akun-akun medsos milik tokoh, katakanlah terjadi gempa bumi pukul 08.00 pagi, nah pada jam yang sama seorang Menteri menggunggah videonya sedang bernyanyi di cafe lewat medsos. Ini bisa dimaklumi dan bisa juga tidak dimaklumi. Namun jika video itu diunggahnya pukul 08.30 pagi atau setengah jam setelah gempa bumi, maka dipastikan warganet mengecam ulahnya. Disinilah pentingnya seorang tokoh punya tim dan jubir digital yang berpengalaman.

Jadi empati digital itu selain kemampuan online kita merasakan apa yang dirasakan orang lain, juga termasuk kesadaran bahwa tidak setiap orang membaca/mengetahui topik hangat hari itu. Karenanya sebelum beraktivitas online sebaiknya kita mengintip, membaca terlebih dahulu percakapan sebelumnya yang menjadi perhatian publik. Lalu bagaimana dengan orang yang sengaja membuat dan menyebar konten fitnah medsos?. Ini bukan hanya tak punya empati digital, tapi juga tak berfungsi hatinya.

Hariqo Wibawa Satria adalah Direktur Eksekutif Komunikonten, Institut Media Sosial dan Diplomasi (www.komunikonten.com)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.